Oleh Benyamin Lagowan
Beberapa waktu lalu Majelis Rakyat Papua (MRP) mengesahkan rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) terkait proteksi Orang Asli Papua (OAP). Raperdasus proteksi OAP itu mencakup penyelamatan tanah, penyelamatan OAP dan rekruitmen partai politik dan partai lokal.
Sejatinya hal itu terlaksana sebagai bentuk action MRP sebagai lembaga kultural dan proteksi OAP sehingga patut diberikan jempol. Raperdasus itu diakui merupakan tindak lanjut atas deklarasi untuk menyelamatkan tanah dan OAP yang telah disahkan pada tanggal 30 Oktober 2015 (Cepos, 4 Juni 2016, hlm. 1 dan 4).
Dalam penjelasan rumusan Raperdasus tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, menyangkut penyelamatan tanah, yakni akan dilakukan penyelamatan tanah milik 250 suku yang ada di Papua–yang mana terancam kehilangan tanah dan ahli warisnya akibat maraknya penjualan tanah, sehingga dengan adanya perdasus tersebut hak-hak ulayat yang ada dapat diproteksi;
Kedua, menyangkut definisi OAP. Rumusan yang telah disetujui tentang definisi OAP yaitu, orang yang berasal dari rumpun Melanesia, yang merupakan suku asli di tanah Papua, maksudnya adalah ayah dan ibunya merupakan orang asli Papua;
Ketiga, menyangkut partai politik dan partai lokal. Berkaitan dengan poin ini diharapkan kedepan semua pimpinan di tanah Papua, baik gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota, wakil bupati dan wakil wali kota, DPR RI, pimpinan DPRP, maupun DPRD kabupaten/kota harus OAP (Cepos, ibid. hlm 1).
Dari rumusan tersebut yang menjadi pertanyaannya adalah relevankah tiga raperdasus tersebut, khususnya Raperdasus kedua menyangkut keaslian orang Papua? Definisi OAP pada beberapa tahun sebelumnya telah melahirkan reaksi pro-kontra. Dapat kita sebutkan pro dan kontra saat itu sempat mewarnai media massa di Papua ketika ada keraguan dari salah satu legislator Papua. Jika rumusan OAP mengisyaratkan bahwa OAP ialah kedua orang tua harus asli Papua, maka dikhawatirkan akan ada konflik antara orang Papua keturunan (peranakan) dengan OAP. Karena definisi itu akan menjadi boomerang yang sewaktu-waktu bisa meledak dan melahirkan perpecahan (konflik horzontal) di kalangan orang Papua sendiri.
Melihat perdasus ketiga tentang partai politik dan partai lokal tentu telah menjadi perdebatan pula. Namun dapat dipahami bahwa perdasus ketiga ini sudah cukup mampu dijalankan sebagai poin krusial turunan Otonomi Khusus (Otsus) yang mutlak. Walaupun demikian, saat itu dapat disaksikan bahwa pro dan kontra menyangkut ketentuan ini sempat mengemuka di tahun 2015, ketika MRP mengeluarkan ”rekomendasi” tentang seluruh kepala daerah dan wakilnya di Papua harus OAP. Keputusan itu menuai pro kontra sehingga kurang mendapat legitimasi dari rakyat Papua. Pro-kontra saat itu mengundang perhatian berbagai pihak, termasuk pakar hukum sekaligus advokat terkemuka Papua Barat, Yan Christian Warinussy–yang menekankan perlunya gubernur bersama DPRP dan MRP melakukan Yudisial Review terhadap isi UU No.20 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua. Namun masukan yudisial review pun masih belum dilakukan. Otsus Pluslah yang sekarang sedang diperjuangkan oleh gubernur bersama seluruh pejabat lainnya di Papua.
Dengan melihat berbagai penolakan dan pro-kontra tersebut, dapat kita lihat secara nyata saat ini bahwa pelaksanaan perdasus tentang keaslian OAP dalam posisi kepala daerah pun seakan-akan tidak dihargai. Hal tersebut tampak dalam perebutan bursa pencalonan bupati dan wakil bupati Kabupaten Jayapura periode 2017-2021. Tampak banyak orang Non Papua yang bukan peranakan turut serta menjadi calon kepala daerah, misalnya Ibu Yanni, S.H. (Ketua DPD Partai Gerindra Papua) dan Dr. Johanes Manangsang (mantan Direktur RSUD Abepura) yang sudah mengkampanyekan diri sebagai kepala daerah ataupun wakil kepala daerah di Kabupaten Jayapura beberapa bulan terakhir ini.
Menyikapi situasi di Papua berkaitan dengan ketiga raperdasus tersebut, hemat saya beberapa hal di bawah mesti dilakukan:
Pertama, penghormatan akan nilai-nilai kekhususan Papua (OAP), terutama menyangkut hak sipil, politik dan pemerintahan janganlah dirampas oleh pihak non Papua;
Kedua, menyangkut minimnya legitimasi masyarakat terhadap perdasus yang sudah dikeluarkan. Pemerintah daerah, baik eksekutif, legislatif dan lembaga kultural perlu menunjukkan komitmen yang jelas akan keberpihakannya. Jangan terkesan mencari aman, menelantarkan masyarakat dan terkesan berpihak pada kelompok suku tertentu agar legitimasi dapat lahir dari seluruh rakyat Papua, bukan sukuisme;
Ketiga, menyangkut penyelamatan tanah. Perlu dilakukan sosialisasi dan penyadaran dampak menjual tanah bagi kelangsungan generasi (nasib anak cucu) di kemudian hari, dalam perspektif hukum adat, Gereja dan mitologi hubungan tanah dengan manusia Papua;
Keempat, perlunya sikap proteksionisme pemerintah daerah terhadap OAP. Tidak hanya dalam hal politik, pemerintahan dan tanah adat, tetapi juga yang esensial mengenai hak hidup OAP, keamanan dan demokrasi OAP di atas tanah Papua. Jika bagian ini tak mampu diwujudkan karena ada penolakan dari pihak Jakarta, maka dapat kita katakan sia-sia. Untuk itu sikap tegas dan keras perlu diambil demi nasib OAP hari ini, esok dan selamanya;
Kelima, ketika poin keempat di atas tidak mampu dijawab, pemerintah daerah mesti menyadari dan merefleksikan makna penyelamatan dan proteksi OAP yang lebih pasti pada tingkatan lebih tinggi, yang paling mungkin yakni referendum sesuai dengan hak sipil dan politik masyarakat pribumi.
Poin kelima di atas dapat menjadi bargaining politik sebagaimana dasar lahirnya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, yaitu tingginya aspirasi gerakan Papua merdeka. Ini bukan hal yang mustahil, sebab indikasi pelemahan wewenang Otsus dan minim penghargaan terhadap hak politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan budaya, serta tingginya pelanggaran HAM, pembungkaman ruang demokrasi di Papua. Bahkan hingga adanya demonstrasi tandingan di Papua beberapa hari belakangan ini dapat menjadi bukti bahwa pemberian Otsus pun diperkosa sendiri oleh Jakarta bersama masyarakat nusantara yang didominasi orang non Papua.
Demikian pula ketegasan akan keberpihakan dan adanya pengertian dan pemahaman akan hak-hak dasar OAP yang tinggi barangkali dapat mencegah disintegrasi bangsa walaupun terkesan terlambat, karena api dan warna itu sudah tampak jelas. Maka dialog politik adalah jalan menuju pemecahan kokohnya tembok yang sudah tercipta dan mengakhiri sandiwara-sandiwara selama ini di atas Tanah Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih
Leave a Reply