Dushut sebut paradoks hutan Papua

Suasana FGD yang digelar Jubi di salah satu hotel di Abepura, Rabu – Jubi/Hengky Yeimo
Suasana FGD yang digelar Jubi di salah satu hotel di Abepura, Rabu – Jubi/Hengky Yeimo

Jayapura, Jubi Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Ade Ridwan mengatakan, hutan Papua sangat kaya, tetapi paradoks dengan perekonomian masyarakatnya yang belum sejahtera.

Hutan Papua seluas 4,8 juta hektare, hutan kritis dibagi menjadi lahan kritis dan lahan potensi ktitis 200 ribu hektare banyak hal kegiatan penebangan.

“Lahan kritis seperti di Merauke, Wasur ekosistem sabana kategori lahan kritis. Pegunungan Ililim Alfin tumbuh semak lumut. Sama sekali tidak tumbuh itu kategori kritis. Lahan kritis luas. Kalau tidak ditangani berpotensi luas dan dampaknya serius. Ini tanggung jawab kita semua,” katanya dalam FGD yang digelar Jubi di salah satu hotel di Abepura, Rabu (14/6/2016).

Ia mengatakan, 84 kampung berada dalam kawasan hutan dan 1.800 kampung ada sebelum kawasan hutan ditetapkan.

“Kampung-kampung ini kita potensikan untuk agenda penjaga hutan,” katanya.

Ia juga menyebutkan hasil hutan kayu yang nilainya lebih rendah daripada hasil hutan bukan kayu. Hasil bukan kayu bisa dikembangkan.

“Sekarang yang menjadi sagu ini prihatin dusun sagu yang berkurang. Menurut saya ironi. Pemerintah diversifikasi pangan.

Kita cari sumber konsersi lahan sagu jadi sawah kita kembangan sagu sementar lahan sagu berkurang,” katanya.

“Hutan kaya masyarakat tidak sejahtera,” lanjutnya

Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Frans meminta pengelolaan SDA di Papua harus dievaluasi dari sisi yuridis agar bisa menjadi dasar kedepan untuk bertindak.

“Kami lihat keberpihakan aturan mana yang tidak berpihak. Ketidakberpihakan tersebut memberikan tanda cas menyangkut hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, saya nilai itu evaluasi sangat penting,” katanya.

Ia mempertanyakan siapa subjek hukum dalam pengelolaan tersebut, apakah pemerintah, birokrat, masyarakat adat atau pengusaha dan korporasi (perusahaan).

Menurutnya, evaluasi dilakukan untuk melihat apakah subyek hukum sinkron atau tidak. “Apakah dia komitmen atau tidak, sementara tidak total untuk pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Jangan melihat masyarakat adat rendah, ubah mindset itu mereka harus dikelola dengan baik. Komitmen masyarakat adat dalam mengelola SDA harus dilihat dengan baik. Jangan yang ada hanya konflik-konflik saja dan mereka diabaikan dari hukum,” katanya.

Frans mengatakan, melalui diskusi kami temukan siapa subyek dalam regulasi terhadap pengeloaan SDM di Papua. “Agar dengan mudah kami mengevaluasi segi kebijakan otsus ambivalen. Kewenangan yang punya adalah rakyat, yang ada di kabupaten sehingga perda harus ada evaluasi yang baik,” katanya.

“Kita bicara kewenangan. Aturan harus sinkron, kabupaten kita masih ada, ini realitas hukum yang ada. Kenapa? Karena kewenangan provinsi di hadang kewenangan kabupaten. Undang-undang dan prmen paling berubah cepat di negara, sehingga keputusan MK No. 23 tahun 2014 mengenai hutan adat apakah ada aturan pelaksanaan tidak jelas,” katanya. (*)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.